Cerita Dan Motifasi Sukses pengusaha Hidroponik
Ketika masuk masa pensiun, hobi utak-atik elektronik
tetap mengikuti Dibyo dan selalu menggugahnya untuk membuat berbagai
rekayasa yang aplikatif. Kali ini ia terapkan di bidang pertanian,
tepatnya untuk tanaman hidroponik.
Dengan membuat sendiri sistemm penyiraman, Dibyo
telah ikut berperan penting dalam mendirikan Parung Farm. Parung Farm
adalah penghasil produk sayur-mayur hasil pertanian hidroponik yang kini
merajai di berbagai swalayan wilayah Jabodetabek. "Parung Farm berdiri
tahun 2008. Tadinya ini eksperimen di lahan 100 meter persegi untuk
menanam semua jenis tanaman skala kecil," katanya.
Tujuan awalnya untuk pelatihan, tetapi ternyata ada
permintaan dari luar sekaligus utnuk membuktikan apakah hidroponik layak
ditekuni atau tidak.
"Saya pengin tahu juga, hasilnya bisa dijual apa
enggak," kata Dibyo. Maka, sejak itu Dibyo berssama saudaranya dan para
pekerja Parung Farm serius menggarap hobi tersebut menjadi sesuatu yang
menghasilkan.
Berlokasi di jalan Raya Parung-Bogor, Parung, Bogor,
Jawa Barat, Parung Farm menjadi ajang pembuktian bahwa orang-orang kota
bisa bercocok tanam di lahan terbatas dengan menggunakan hidroponik.
Bahkan, bercocok tanam bisa menguntungkan asal memiliki teknik yang
efektif.
Sistem hidroponik di Parung Farm dikembangkan secara
mandiri oleh para pekerjanya. Dibyo bertanggungjawab pada sistem
pengairan yang kini sudah berjalan otomatis.
"Prinsipnya, saya senang tanaman tetapi malas
menyiram, malas merawat. Maka, saya membuat semuanya otomatis,
menggunakan timer," kata Dibyo. Jadi, urusan menyiram terjadwal otomatis
dan tak bakal lupa. "Dulu, mencari timer di pasaran yang siap
diaplikasikan untuk tanaman dengan rentang waktu siram tiap lima menit
tidak ada.
Jadilah saya buat sendiri," kata Dibyo. Seperangkat
alat hidroponik yang siap digunakan beserta timer rancangan Dibyo
menjadi idola, terutama ibu-ibu rumah tangga. "Waktu masih percobaan,
saya taruh di halaman rumah saja sudah ditawar ibu-ibu," kata Dibyo.
Kini peralatan yang sering disebut hidroponik kit, terdiri dari
rangkaian pipa-pipa pralon, itu dijual dengan harga mulai dari Rp
600.000 hingga jutaan rupiah.
Dibyo sudah menghasilkan berbagai timer untuk sistem
pengairan. "Saya juga membuat timer sentuh untuk pengamanan alat-alat
pompa, timer pemukaan air agar air tak meluber, juga timer dengan sensor
cahaya dan panas," katanya.
Butuh waktu lima tahun untuk menemukan bentuk kompak
seperti saat ini. Hasil sayuran hidroponik dan timer buatan Dibyo
menjadi komoditas yang dicari para pembeli, bahkan sampai luar Pulau
Jawa. "Pangsa pasarnya ternyata besar, tetapi kemampuan produksi kami
kurang," katanya.
Menurut Dibyo, siapa pun dan dimana pun, termasuk
yang tak memiliki lahan, tetap bisa menggunakan hidroponik kit untuk
bercocok tanam. "Tak ada alasan lagi bagi orang kota untuk tidak
menanam," kata Dibyo. (*/Kompas Cetak)
0 komentar:
Post a Comment